KRITIK
ORIENTALIS TERHADAP HADITS
Oleh:
Moh Abu Bakar (abim Pribumi) 06260140
Pendahuluan
Gugatan
orientalis ketika menggugat otentisitas hadits adalah pernyataan
tentang ketiadaan data historis dan bukti tercatat (documentary
evidence) yang dapat memastikan otentisitas hadits. Hal ini (menurut
mereka) disebabkan tidak adanya kitab-kitab atau catatan-catatan
hadits dari para sahabat RA. Dan menurut mereka hadits-hadits yang
ada baru dicatat pada abad kedua dan ketiga hijriah. Secara implisit
mereka hendak mengatakan bahwa hadits yang ada sekarang tidak asli
dari Muhammad Saw, dan tidak lebih hanyalah karangan para ulama dan
generasi setelah Rasul Saw dan para Sahabat RA. Benarkah demikian?
Orientalisme
adalah tradisi kajian keislaman yang berkembang di Barat.1
Dr.Syamsuddin Arif mengatakan2, “gugatan orientalis terhadap hadits
bermula pada pertengahan abad ke-19 M, tatkala hampir seluruh bagian
Dunia Islam telah masuk dalam cengkraman kolonialisme bangsa-bangsa
Eropa. Adalah Alois Sprenger, yang pertama kali mempersoalkan status
hadits dalam Islam. Dalam pendahuluan bukunya mengenai riwayat hidup
dan ajaran Nabi Muhammad SAW, misionaris asal Jerman yang pernah
tinggal lama di India ini mengklaim bahwa hadits merupakan kumpulan
anekdot (cerita-cerita bohong tapi menarik).”
Secara
umum kajian yang dilakukan oleh kalangan orientalis memang memiliki
kecenderungan dan motif yang berbeda. Ada yang berniat “mencari”
kebenaran dan tidak sedikit juga yang mencari kelemahan Islam. Jika
sebagian orientalis yang sungguh-sungguh mencari kebenaran dari Islam
melakukan kajian dengan ilmiah dan obyektif, maka sebagian lagi yang
mencari kelemahan Islam justru kajian mereka sama sekali tidak
obyektif (subyektif) dan penuh rasa curiga. Maka hasil kajian
tersebut pun digunakan untuk menyerang Islam, salah satunya dengan
menggugat otentisitas hadits dengan mengatakan bahwa hadits adalah
rekayasa para ulama abad kedua hijriah.
Orientalisme
yang pada awalnya adalah salah satu kajian keilmuan yangtergabung di
dalam ilmu Antropologi, memiliki tujuan yang sama dengan ilmu
induknya tersebut yaitu untuk mempelajari kebudayaan lain agar bisa
menemukan kebudayaanterbaik yang bisa dijadikan kebudayaan pilot
project bagi
seluruh dunia. Namun pada perkembangan lebih lanjut, antropologi
kemudian berubah menjadi sebuah kajian keilmuan dari sebuah bangsa
Eshtablished terhadap kebudayaan yang outsiders.
Karena masyarakat merasa mereka lebih berbudaya daripada
masyarakat oriental (timur),
baik itu timur jauh, timur tengah, timur selatan. Meliputi semua hal
budaya, adat, norma dan juga agama-agama masyarakat timur.
Terdapat
banyak faktor yang mendorong terjadinya gerakan orientalisme, di
antaranya:
1.
Faktor Agama. Motif orientalisme dalam hal ini sama dengan motif
salibis yang berawal dari kebencian terhadap Islam.
2.
Faktor Kolonialisme. Orientalisme dan kolonialisme memiliki hubungan
yang erat guna mewujudkan cita-cita bangsa Eropa (Barat). Setelah
kekalahan dalam perang Salib, Eropa berfikir bahwa peperangan fisik
bukan cara yang tepat mengalahkan Islam. Akhirnya mereka meluncurkan
peperangan gaya baru yang dikenal dengan sebutan Ghazwul Fikri.
Ghazwul fikri adalah cara Barat untuk memuluskan kolonialisasi di
Timur.
3.
Faktor Ekonomi.
4.
Faktor Politik. Barat tetap berkeinginan terus menguasai
Negara-negara Islam. Sekalipun negera-negara tersebut telah lepas
dari penjajahan langsung mereka, Barat menempatkan orang-orang
pilihan di kedutaan-kedutaan mereka di dunia Islam. Sehingga Barat
tetap dapat menyetir dunia Islam secara politis ke arah kepentingan
mereka.
5.
Faktor keilmuan. Secara jujur sekalipun minim sekali, terdapat
beberapa orientalis yang menelaah literatur-literatur Islam sebagai
sebuah kebudayaan dan peradaban. Namun tidak menutup kemungkinan
justru faktor inilah yang telah membuka lebar-lebar kekeliruan serta
kesalahan dalam memahami Islam.
Tujuan
Orientalisme
Menurut
penulis buku Orientalisme dan Misionarisme adalah memurtadkan umat
Islam dari agamanya dengan cara mendistrosi serta menutup-nutupi
kebenaran dan kebaikan ajaran-ajarannya. Salah satu instrument
penunjang dalam mewujudkan tujuan orientalisme tersebut yaitu
meragukan keabsahan hadits-hadits Nabi Saw., sebagai sumber hukum
Islam kedua sesudah al-Qur’an. Para orientalis tersebut
berpandangan bahwa dalam hadits Nabi terdapat unsur intervensi para
ulama untuk memurnikan hadits-hadits shahih yang bersandar kepada
kaidah-kaidah yang sangat keras dan selektif, dimana hal itu tidak
dikenal dalam agama mereka dalam membuktikan kebenaran-kebenaran
Kitab Sucinya.
Di
dalam salah satu bukunya, Orientalism,
Edward Said mengatakan bahwa kegiatan yang dilakukan oleh para
orientalis dalam meneliti agama Islam, khususnya hadis, bukanlah
pekerjaan yang non
profit oriented,
artinya mereka memiliki tujuan tertentu dengan meneliti agama Islam
sedemikian rupa. Tujuan itu antara lain adalah mencari kelemahan
Islam dan kemudian mencoba menghancurkannya pelan-pelan dari dalam.
Walaupun tidak semua orientalis memiliki tujuan seperti itu paling
tidak itu adalah sebuah anomali dari sekelompok orang yang boleh
dikata memiliki persentase sangat kecil. Hal inilah yang menjadi
alasan bagi Hasan Hanafi cs untuk membalas perlakuan mereka dengan
giliran balik menyerang kebudayaan Barat dengan cara
mempelajarinya
dan kemudian juga dengan cara yang sistematis mencoba menggerogotinya
dari dalam. Mereka memilih hadis dalam upayanya untuk menyerang umat
Islam karena kedudukan hadis yang sangat penting dalam kehidupan kaum
muslim. Hadis adalah sumber hukum kedua setelah al Quran sekaligus
juga sebagai penjelas dari al Quran itu sendiri. Mereka lebih memilih
menyerang hadis ketimbang al Quran, karena hadis hanyalah perkataan
manusia yang bisa saja mengandung kesalahan dan unsur-unsur negatif
lainnya. Mereka sulit untuk mencoba mendistorsikan al-Quran karena
al-Quran adalah sumber transendental dari tuhan yang telah terjamin
dari semua unsur negatif. Ada tiga hal yang sering dikemukakan
orientalis dalam penelitian mereka terhadap al-Hadis, yaitu tentang
para perawi hadis, kepribadian Nabi Muhammad SAW,
Metode
pengklasifikasian hadis :
1.
Aspek Perawi Hadis
Para
orientalis sering mempertanyakan tentang para perawi yang banyak
meriwayatkan hadis dari rasulullah. seperti yang kita ketahui bersama
para sahabat yang terkenal sebagai perawi bukanlah para sahabat yang
yang banyak menghabiskan waktunya bersama rasullah seperti Abu bakar,
Umar, Usman dan Ali. Namun yang banyak meriwayatkan hadis adalah
sahabat-sahabat junior dalam artian karena mereka adalah orang “baru”
dalam kehidupan rasulullah. Dalam daftar sahabat yang banyak
meriwayatkan hadis tempat teratas diduduki oleh sahabat yang hanya
paling lama 10 tahun berkumpul dengan Nabi, seperti Abu hurairah,
Sayyidah Aisyah, Anas
bin
malik, Abdullah ibn Umar dll. Abu hurairah selama masa 3 tahun dia
berkumpul dengan Nabi telah berhasil meriwayatkan lebih dari 5800
hadis, Sayyidah Aisyah mengumpulkan lebih dari 3000 hadis dan
demikian juga dengan Abdullah ibn Umar, Anas.
2.
Aspek Kepribadian Nabi Muhammad SAW
Tidak
cukup dengan menyerang para perawi hadis, kepribadian Nabi Muhammad
juga perlu dipertanyakan. Mereka membagi status nabi menjadi tiga
sebagai rasul, kepala negara, dan pribadi biasa sebagaimana orang
kebanyakan. Bahwa selama ini hadis dikenal sebagai segala sesuatu
yang dinisbatkan kepada Nabi Muhammad baik perbuatan, perkataan dan
ketetapan beliau juga perlu direkontruksi ulang. Sesuatu yang
berdasarkan dari Nabi baru disebut hadis jika sesuatu tersebut
berkaitan dengan hal-hal praktis keagamaan, karena jika tidak hal itu
tidak layak
untuk
disebut dengan hadis, karena bisa saja hal itu hanya timbul dari
status lain seorang Muhammad.
3.
Aspek Pengklasifikasian hadis
Sejarah
penulisan hadis juga tidak lepas dari kritikan mereka. Penulisan
hadis yang baru dilakukan beberapa dekade setelah Nabi Muhammad wafat
juga perlu mendapat perhatian khusus. Hal itu, lanjut mereka, membuka
peluang terhadap kesalahan dalam penyampaian hadis secara verbal,
sebagaimana yang dikatakan oleh Montgomerywatt,salah seorang
orientalis ternama saat ini:
"Semua
perkataan dan perbuatan Muhammad tidak pernah terdokumentasikan dalam
bentuk tulisan semasa Ia hidup atau sepeninggalnya. Pastinya hal
tersebut disampaikan secara lisan ke lisan, setidak-tidaknya pada
awal mulanya. Hal itu diakui ataupun tidak sedikit banyak akan
mengakibatkan distorsi makna, seperti halnya dalam permainan
telpon-telponan anak kecil".
Hal
diatas adalah sebagian dari pemikiran Orientalis tentang Islam ,
lebih spesifik lagi tentang hadis. Hal itu sedikit banyak bisa
memberikan pemahaman dan wacana baru bagi kita agar kita bisa melihat
hadis, sesuatu hal berharga yang kita punyai tidak hanya dengan
pandangan dan penilaian kita tapi juga dengan sisi pandang orang
lain, yang boleh jadi akan lebih objektif dari kita. kita harus
berterima kasih kepada mereka karena telah meneliti kehidupan kita,
sehingga kita bisa mengambil hasil penelitian mereka sebagai bahan
koreksi dan pembelajaran bersama,
terlepas
dari niat-niat buruk dari sebagian mereka.
Hadis
dan Orientalis
Sarjana
barat yang pertama kali melakukan kajian Hadis adalah Ignaz
Goldziher, seorang orientalis Yahudi kelahiran Hongaria yang hidup
antara tahun1850 - 1921 M. Pada tahun 1890, ia mempublikasikan hasil
penelitiannya tentang Hadis dalam sebuah buku yang
berjudul Muhammedanische
Studien (Studi
Islam). Dan sejak saat itu hingga sekarang, buku tersebut menjadi
"kitab suci" di kalangan orientalis. Dibanding dengan
Goldziher, hasil penelitian Schacht memiliki "keunggulan",
karena ia bisa smpai pada kesimpulan yang meyakinkan bahwa tidak ada
satupun Hadis yang otentik dari Nabi Muhammad, khususnya Hadis-hadis
yang berkaitan dengan hukum-hukum Islam. Sementara Goldziher hanya
sampai pada kesimpulan yang meragukan adanya otentisitas Hadis. tidak
aneh jika kemudian buku Schacht memperoleh
reputasi
dan sambutan yang luar biasa. Baik Ignaz maupun Schacht, keduanya
tidak berbicara tentang otoritas Hadis sebagai sumber hukum dalam
Islam. Karena keduanya telah sepakat bahwa Hadis tidak memiliki
otentitas sebagai sebuah ajaran yang bersumber dari Nabi Muhammad,
padahal Hadis dapat menjadi sumber ajaran Islam, ketika ia otentik
dari Nabi, sehingga tidak mungkin Hadis dapat digunakan sebagai
sumber ajaran Islam. Keduanya justru membuat kiat-kiat yang dapat
dipergunakan sebagai pendukung hasil penelitian mereka; Bahwa apa
yang disebut sebagai Hadis, bukanlah sesuatu yang otentik dari Anbi
Muhammad.
Setidaknya
ada tiga kiat-kiat digunakan, guna menyokong pendapat mereka:
a.
Mendistorsi teks-teks sejarah. Semisal tuduhan Goldziher terhadap
Imam Ibn Syihab al-Zuhri (w. 123 H.). menurutnya Imam al-Zuhri telah
melakukan pemalsuan Hadis, dan ia juga mengubah teks-teks sejarah
yang berkaitan dengan Ibn Syihab al-Zuhri, sehingga menimbulkan kesan
bahwa Imam al-Zuhri memang mengakui dirinya sebagai pemalsu Hadis.
Menurut
Goldziher, al-Zuhri pernah berkata, inna
haula'I al-umara akrahuna 'ala kitabah ahadist (para
penguasa itu memaksa kami untuk menulis Hadis). Kata 'ahadist'
dalam kutipan Goldizer tidak menggunakan artikel "al"
(al-ahadist) yang dalam
bahasa Arab memiliki makna definitif (ma'rifah), sementara
dalam teks yang asli,
yang merupakan ucapan Imam Ibn Syihab yang sebenarnya, seperti
yang terdapat
dalam kitab Ibn Sa'ad dan Ibn 'Asakir, adalah 'al-ahadist' yang
berarti Hadishadis yang
telah dimaklumi secara definitif, yaitu Hadis-hadis yang berasal dari
Nabi Muhammad.
b.
Membuat teori-teori rekayasa. Bahwa untuk memperkuat tuduhannya yang
menyatakan
bahwa apa yang disebut Hadis adalah bukan sesuatu yang otentik dari
nabi Muhammad, melainkan hanya merupakan bikinan para ulama abad
pertama dan kedua, Schacht membuat teori tentang 'rekonstruksi'
terjadinya sanad Hadis. teori ini dikemudian hari dikenal sebagai
teori Projecting
Back (proyeki
ke belakang) Menurut Schacht, jurisprudensi Islam belum eksis dan
permanen pada masa al-Sya'by (w. 110 H.). Hal ini artinya bahwa
apabila terdapat Hadis-hadis yang berkaitan dengan hukum Islam, maka
sejatinya Hadis-hadis tersebut merupakan buatan orang-orang yang
lahir dan hidup sesudah al-Sya'bi. Schacht berpendapat
bahwa
jurisprudensi Islam baru dikenal sejak masa pengangkatan
para qadhi (hakim
agama), yang baru diadakan pada dinasti bani Umayah.
c.
Ketiga melecehkan Ulama Hadis, di mana kiat para orientalis
selanjutnya adalah melecehkan kredibilitas ulama Hadis, sembari
menuduh mereka sebagai pemalsu. Banyak ulama yang mereka sorot dan
menjadi sasaran pelecehan ini, antara lain Shahabat Abu Hurairah (w.
57 H.), Imam Ibn Syihab al-Zuhri (w. 123 H.), dan Imam Muhammad bin
Ismail al-Bukhari (w. 256 H.).
Tiga
tokoh tersebut menjadi sasarn pokok serangan para orientalis karena
ketiganya menempati posisi-posisi yang strategis dalam kajian ilmu
Hadis; Abu Hurairah adalah Shahabat yang tercatat sebagai shahabat
yang paling banyak meriwayatkan Hadis dari Nabi Muhammad. Dan
al-Zuhri disebut-sebut sebagai orang yang pertama kali membukukan
Hadis. sementara al-Bukhari adalah tokoh yang menulis kitab paling
otentik sesudah al-Quran, yaitu kitab Shahih
al-Bukhari.
Kritik
Hadits versi Orientalis
Kalau
ada diantara orientalis yang pernah berusaha menciptakan metode
kritik hadits, maka sudah bisa dipastikan arahnya, yaitu untuk
menjegal metodologi yang selama ini ada. Dengan demikian akan terjadi
perubahan besar dalam hukum-hukum Islam akibat dari berubahnya hadits
shahih menjadi maudhu` atau yang maudhu` malah menjadi shahih Dan
akibat yang akan ditimbulkan sudah bisa anda bayangkan juga. Nantinya
syariah Islam akan berubah 180% derajat. Sesuatu yang haram bisa jadi
halal dan yang halal bisa jadi haram. Bahkan zina, khamar, judi,
mut`ah, mencuri dan segala kemungkaran menjadi halal. Dan sebaliknya,
jilbab, qishash, hudud dan menegakkan hukum Islam menjadi terlarang.
Karena haditsnya telah berubah status. Dan perubahannya itu
ditentukan oleh para orientalis.
Metode
Kritik Hadits Orientalis
Kajian
Islam yang dilakukan oleh Barat pada mulanya hanya ditujukan kepada
materi-materi keislaman secara umum. Baru pada masa-masa belakangan,
mereka mengarahkan kajiannya secara khusus kepada bidang hadits
Nabawi.
Menurut
perkiraan Prof. Dr. M.M. Azami, Sarjana Barat yang pertama kali
melakukan kajian terntang hadits adalah Ignaz Goldziher (1850-1921
M), orientalis Yahudi kelahiran Hoingaria yang memiliki karya
berjudul Muhammedanische Studien (Studi Islam) sebagai “kitab
suci”nya para orientalis hingga kini.
Penelitian
hadits juga selanjutnya diteruskan oleh Joseph Schacht-yang juga
orientalis Yahudi-menerbitkan buku dengan judul The Origins of
Muhammadan Jurisprudence yang kemudian dianggap sebagai “kitab
Suci” kedua di kalangan orientalis.
Dibanding
Goldziher, Schacht memiliki “keunggulan”, karena ia sampai pada
kesimpulan yang meyakinkan bahwa tidak ada satu pun hadits yang
otentik dari Nabi Saw., khususnya hadits-hadits yang berkaitan dengan
hukum Islam. Sementara Goldziher hanya sampai pada kesimpulan yang
meragukan adanya otentisitas hadits. Karenanya, di kalangan
orientalis, buku Schacht memperoleh reputasi yang luar biasa.
Selain
dua buku di atas, dalam masa tiga perempat abad sejak terbitnya buku
Goldziher, kalangan orientalis tidak menerbitkan hasil kajian mereka
tentang hadits, kecuali beberapa makalah yang isinya jauh dari sebuah
penelitian hadits yang tidak memiliki nilai-nilai ilmiah.
Sangat
disesalkan, dalam berbagai penelitian, khususnya penelitian dalam
bidang hadits, para orientalis tersebut bersandar kepda metodologi
yang aneh dan mengherankan, yang tidak sesuai dengan jiwa seorang
peneliti, yaitu mengikuti hawa nafsu dan tidak konsen terhadap
penelitian itu sendiri, serta bersikap semaunya dalam melakukan
interpretasi dan konklusi terhada teks. Bisa kita identifikasi,
sebelum melakukan penelitian, mereka telah menetapkan sesuatu di
pikiran mereka sindiri, untuk kemudian dicari penguat berupa
dalil-dalil yang belum tentu kebenarannya. Hal itu dirasa tidak
penting bagi mereka asal bisa diambil sedikit kesimpulan dari dalil
tersebut sebagai pembenaran atas pemikiran mereka.
Sikap
seperti ini tentunya bertentangan dengan kaisah dan dasar-dasar
penelitian ilmiah, dimana seorang peneliti pada awalnya harus bebas
dari hawa nafsu dan ego pribadi. Sejatinya, penelitian itu dilakukan
setelah teks dan sumber-sumber yang bisa dipercaya yang ditetapkan
melalui proses perbandingan dan uji coba. Hasil dari keduanya yang
bisa diambil dan dijadikan sandaran bagi seorang peneliti sejati.
Baik
Goldziher maupun Schacht berpendapat bahwa hadits tidaklah berasal
dari Nabi Saw., melainkan sesuatu yang lahir pada abad pertama dan
kedua hijrah. Atau dengan kata lain, hadits adalah buatan para ulama
abad pertama dan kedua.
Secara
umum di antara tuduhan-tuduhan orientalis yang meragukan otentisistas
hadits adalah:
1.
Hadits tidak ditulis pada masa Nabi Saw
2.
Sahabat Umar bin Khattab menarik pendapatnya sooa kodifikasi hadits
3.
Para Shahabat tidak menghafal hadits
4.
Sulit membedakan hadits shahih dengan yang palsu, Karena terjadi
begitu banyak pemalsuan hadits
5.
Hanya hadits mutawatir yang boleh dijadikan sumber hokum
6.
Meragukan kredibilitas para perawi dan ulama hadits
7.
Banyak hadits yang bertentangan dengan HAM
Ditambah
dengan upaya mereka meyakinkan umat Islam bahwa beragama cukup dengan
berpedoman kepada al-Qur’an saja.
Kritik
atas Kritik Hadits Orientalis
Ignaz
Goldziher menuduh bahwa penelitian hadits yang dilakukan oleh ulama
klasik tidak dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah karena
kelemahan metodenya. Hal itu dikarenakan para ulama lebih banyak
menggunakan metode kritik sanad, dan kurang menggunakan metode kritik
matan. Karenanya, Goldziher kemudian menawarkan metode kritik baru
yaitu kritik matan saja.
Sebenarnya
para ulama klasik sudah menggunakan metode kritik matan. Hanya saja
apa yang dimaksud metode kritik matan oleh Goldziher itu berbeda
dengan metod kritik matan yang dipakai oleh para ulama. Menurutnya,
kritik matan hadits itu mencakup berbagai aspek, seperti politik,
sains, sosio kultural dan lain-lain. Ia mencontohkan hadits-hadits
yang terdapat dalam kitab shahih Bukhari, dimana menurutnya, Bukhari
hanya melakukan kritik sanad dan tidak melakukan kritik matan.
Sehingga tidak menutup kemungkinan dalam kitab shahih Bukhari
tersebut terdapat hadits-hadits palsu.
Dari
berbagai penelusuran dan penelitian para ulama terhadap tuduhan
Goldziher tersebut. Ternyata tuduhan Goldziher seringkali ahistoris,
irasional dan miskin data serta minimnya pengetahuan. Begitu pula hal
yang sama dilakukan oleh para orientalis lainnya termasuk Joseph
Schacht.
Beberapa
contoh di antaranya :
1.
Hadits “Tidak diperintahkan pergi kecuali menuju ketiga Masjid,
Masjid al-Haram, Masjid Nabawi dan Masjid al-Aqsha.” Menurut
Goldziher hadits ini palsu karena buatan Ibnu Shihab al-Zuhri bukan
ucapan Nabi Saw sekalipun terdapat dalam kitab shahih Bukhari. Ibnu
Shihab al-Zuhri menurut Goldziher dipaksa oleh Abdul Malik Bin Marwan
penguasa dinasti Umayyah waktu itu untuk membuat hadits tersebut
karena khawatir Abdullah bin Zubair (yang memproklamirkan dirinya
sebagai khalifah di Makkah) menyuruh warga Syam yang sedang beribadah
haji untuk berbaiat kepadanya. Karenanya, Abdul Malik bin Marwan
berusaha agar warga Syam tidak lagi pergi ke Makkah, tetapi cukup
hanya pergi Masjid al-Aqsha yang pada saat itu menjadi wilayah Syam.
Para
ulama menyatakan, tidak ada bukti historis yang mendukung teori
Goldziher, bahkan sebaliknya. Para ahli tarikh berbeda pendapat
tentang kelahiran al-Zuhri, antara 50 sampai 58 H. Al-Zuhri juga
belum pernah bertemu dengan Abdul Malik bin Marwan sebelum tahun 81
H. Pada tahun 68 H orang-orang dari Dinasti Umayyah berada di Makkah
pada musim haji. Apabila demikian adanya, al-Zuhri pada saat itu
masih berumur 10 sampai 18 tahun. Karenanya sangat tidak logis
seorang anak yang baru berumur belasan tahun sudah populer sebagai
intelektual dan memiliki reputasi ilmiah di luar daerahnya sendiri,
dimana ia mampu mengubah pelaksanaan ibadah haji dari Makkah ke
Jerusalem. Lagi pula di Syam pada saat itu masih banyak para sahabat
dan tabi’in yang tidak mungkin diam saja melihat kejadian itu.
Sementara
teks haditsnya sendiri tidak menunjukkan bahwa ibadah haji dapat
dilakukan di Jerusalem. Yang ada hanyalah isyarat pengistimewaan
kepada Masjidil Aqsha yang pernah dijadikan kiblat umat Islam. Di
sisi lain, hadits tersebut diriwayatkan oleh delapan belas orang
selain al-Zuhri. Lalu kenapa hanya al-Zuhri yang dituduh memalsukan
hadits tersebut?
Dari
sini nampaknya tidak terlalu sulit bahwa tujuan utama Goldziher
adalah untuk meruntuhkan kredibilitas Imam Bukhari. Apabila umat
Islam sudah tidak percaya lagi kepada shahih Bukhari, maka
hadits-hadits Rasulullah Saw di dalamnya tidak akan dipakai lagi.
Pada gilirannya kemudian Imam-Imam ahli hadits lainnya juga
dikorbankan. Dengan demikian tamatlah sudah apa yang disebut hadits,
dan robohlah satu pilar Islam.
2.
Goldziher berpendapat bahwa hadits secara keseluruhan merupakan
produk orang-orang yang hidup pada abad kedua atau awal abad ketiga
hijriah dan bukan merupakan ucapan Nabi Saw., sebab hukum-hukum
syariah tidak dikenal umat Islam pada kurun pertama hijriah. Sehingga
para ulama Islam di abad ketiga banyak yang tidak mengetahui sejarah
Rasul. Ia menukil tulisan al-Darimy, seorang Arab muslim dalam
bukunya hayat al-hayawan (dunia hewan), dimana dinyatakan dalam
tulisannya, bahwa Abu Hanifah tidak mengetahui secara pasti
terjadinya perang Badar, apakah sebelum atau sesudah perang Uhud?
Tidak
diragukan lagi, bagi orang yang sedikit penelaahannya terhadap
sejarah akan menyatakan demikian. Abu Hanifah adalah ulama yang
paling terkenal yang banyak berbicara tentang hukum peperangan dalam
Islam, bisa dibuktikan melalui Fikihnya yang sangat fenomenal dan
buku-buku karangan murid-muridnya seperti Abu Yusuf dan Muhammad.
Dari
buku karangan Abu Yusuf Sirah Imam al-Auza’i dan buku karangan
Muhammad Sirah Kabir, jelas menunjukkan penguasaan para murid Imam
Abu Hanifah terhadap sejarah peperangan Islam yang menyiratkan
keluasan pengetahuan gurunya, Imam Abu Hanifah.
Goldziher
sebenarnya mengetahui kedua kitab itu yang menetapkan apakah Imam Abu
Hanifah itu bodoh atau berpengetahuan tentang sejarah peperangan
Islam, kecuali memang untuk merusak kredibilitas ulama besar
tersebut. Goldziher bersandar kepada buku al-Darimy yang membahas
dunia hewan, terlebih lagi bahwa buku itu bukan buku sejarah atau
fikih. Dengan demikian membuktikan bahwa Goldziher keliru tanpa
terlebih dahulu membuktikan kebenaran sumbernya.
3.
Joseph Schacht dalam bukunya The Origin of Muhammadan Juresprudence
dan An Introduction to Islamic Law berkesimpulan bahwa
hadits-terutama yang berkaitan dengan hukum Islam-adalah rekaan para
ulama abad kedua dan ketiga hijriah. Ia mengatakan, “Kita tidak
akan menemukan satu buah pun hadits yang berasal dari Nabi yang dapat
dipertimbangkan shahih.”
Untuk
mendukung kesimpulannya itu, Schacht mengajukan konsep Projecting
Back (proyeksi ke belakang), yaitu mengaitkan pendapat para Ahli
Fikih abad kedua dan ketiga hijriah kepada tokoh-tokoh terdahulu agar
pendapat itu memiliki legitimasi dari orang-orang yang mempunyai
otoritas lebih tinggi. Menurutnya, para Ahli Fikih telah mengaitkan
pendapat-pendapatnya dengan para sahabat sampai Rasulullah Saw.,
sehingga membentuk sanad hadits. Inilah rekonstruksi terbentuknya
sanad hadits menurut Schacht yang berarti hadits-hadits itu tidak
otentik berasal dari Nabi Saw.
Seorang
Ahli Hadits abad ini Prof. Dr. M.M Azami melakukan penelitian khusus
terhadap hadits-hadits nabawi dalam naskah-naskah klasik.
Kesimpulannya, sangat mustahil untuk ukuran waktu itu para sahabat
dan tabi’in yang tempat tinggalnya berbeda wilayah yang sangat
berjauhan bisa berkumpul untuk memalsukan hadits. Yang kemudian oleh
generasi-generasi berikutnya diketahui bahwa hadits-hadits tersebut
sama padahal para perawinya tidak pernah bertemu.
Dan
lebih banyak lagi bantahan para ulama terhadap syubuhat kalangan
orientalis yang ingin meruntuhkan posisi hadits sebagai salah satu
sumber hukum utama dalam Islam. wh
Kesimpulan
Usaha
kalangan orientalis yang menyerang agama ini akan terus menemui
kebuntuan. Hal ini karena para ulama dan fuqoha serta orang-orang
yang ikhlas tidak akan pernah berhenti menyingkap
kebohongan-kebohongan mereka dengan menampakkan kebenaran Islam.
Serta mengembalikan dan meluruskan kembali pemahaman kaum muslimin,
menyingkirkan racun pemikiran (sekulerisme, liberalisme, pluralisme,
serta seluruh derivasinya) hingga umat ini bisa membedakan antara
yang bathil dan yang haq.
Walhasil,
tidak ada jalan lain untuk menyelamatkan agama ini selain
mengembalikan pemikiran kaum muslimin berdasarkan Kitabullah dan
Sunnah Rasul-Nya dan memahami keduanya sebagaimana pemahaman para
Sahabat RA dan orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik.